Merawat Alam, Merawat Iman: Sinergi Ekoteologi dan Ekopedagogi di Sekolah Adiwiyata
Merawat Alam, Merawat Iman: Sinergi Ekoteologi dan Ekopedagogi di Sekolah Adiwiyata
Penulis : Nukhbatul Fakhiroh
Guru MTsN 1 Banyuwangi
=====
Segala sesuatu yang terjadi, di alam semesta ini penuh dengan kontradiksi dan paradoks. Segalanya terjadi dengan sebab akibat dan relevansi dari hukum kausalitas yang ada. Dia menciptakan hukum kausalitas ini, semata-mata untuk diserap oleh manusia, agar manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dilakukannya. Jika perbuatan itu baik, maka harus dilakukan lagi, tetapi jika perbuatan itu buruk, maka lebih baik untuk ditinggalkan.
“Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit? Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Seyogyanya makhluk Allah yang diberi kecakapan dan kemampuan untuk berpikir. Alam semesta ini, tidaklah hanya diciptakan untuk manusia saja. Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di muka bumi, sebagai salah satu bukti kebesaran yang tiada tertandingi. Sebagai pelajaran untuk selalu diteliti, atau sebagai nikmat dan musibah yang harus selalu diilhami dan dimaknai. Bilamana, tidak dapat menjaga dan memperhatikan apa yang telah dititipkan kepada manusia, maka pelajaran itu akan senantiasa datang dalam wujud bencana, agar kita semua kembali kepada-Nya. Seperti ayat yang telah kita baca di atas, manusia yang baik diumpamakan debagai kalimat dan pohon yang baik. Akarnya teguh di dalam tanah dan begitu pula cabangnya menjulang ke langit. Perumpamaan ini juga wujud sebagai orang yang memiliki iman yang baik, maka senantiasa berlaku ihsan atau beramal baik yang kemudian menghasilkan buah atau manfaat bagi sekitarnya. Ini menunjukkan hubungan erat antara spiritualitas dari kalimat thayyibah dan aksi nyata dari setiap perbuatan. Sama halnya dengan pepatah arab; ilmu tanpa amal sama dengan pohon yang tak berbuah.
Di satu sisi, manusia membangun gedung pencakar langit. Di sisi lain, tanah longsor dan banjir terus melanda. Dalam satu momen, manusia kerap berbicara tentang cinta dan kemajuan, dan di saat yang lain alam terus ditinggalkan dan dilupakan. Lalu benarkah kita mencintai kehidupan?
Gaya hidup modern menjadikan manusia terputus dari keterikatan batin dengan alam. Nilai-nilai agama sering berhenti pada ibadah ritual saja, tidak diterjemahkan menjadi aksi nyata, menjaga ciptaan Tuhan. Padahal sesungguhnya, nilai dari suatu ibadah adalah ajaran yang mencakup keseluruhan hidup, termasuk bagaimana manusia memperlakukan alam sebagai amanah dari Sang Pencipta.
Kesadaran ekologis, sering kali terpinggirkan. Banyaknya umat yang berkoar-koar perihal esensi mencintai Tuhannya, tempat ibadahnya, tapi nahasnya justru abai dengan kerusakan alam, kebakaran hutan, kelangkaan air, padahal bukankah itu adalah bagian dari pengamalan iman?
Ekoteologi merupakan perpaduan antara pendekatan-pendekatan agama dengan isu lingkungan. Konsep ekoteologi mengajak kita untuk tidak hanya menjaga hubungan dengan tuhan, tetapi juga menjaga kelestarian bumi sebagai tanggung jawab iman. Krisis global dunia hari ini, semakin parah. Bencana alam tidak jarang melahirkan trauma bagi masyarakat, serta menjadi sumber penderitaan yang mengoyak kebahagiaan dalam keluarga. Itu sebab, muslim yang baik harus menyadari bahwa dirinya adalah seorang abdi yang lemah, maka selayaknya harus menganugerahkan rasa penghormatan dan ibadah kepada Penciptanya, dan menjalin hubungan baik antar sesamanya.
Dalam masyarakat modern yang semakin terjebak dalam gaya konsumtif, relasi manusia semakin renggang. Di tengah disorientasi hari ini, ekoteologi hadir bukan hanya sebagai konsep keagamaan saja, melainkan kerangka berpikir yang baru, yaitu re-integrasi antara iman, budaya lokal dan tanggung jawab sosial. Ekoteologi justru bisa menjadi jembatan antara nilai keimanan dan kekayaan budaya lokal yang berpihak pada kelestarian. Berbagai masalah dan tantangan hadir, sebagai isu yang harus ditepis. Seperti anggapan bahwa spiritulitas alam dalam budaya tradisional dianggap klenik atau ditinggalka karena modernisasi dan formalisasi agama, jarang ditemukan ceramah atau pendidikan agama yang membahas isu perubahan iklim, polusi dan keadilan lingkungan dari sudut pandang iman.
Di banyak wilayah Indonesia, sumber daya alam yang seharusnya menjadi rahmat, justru berubah menjadi kutukan bagi masyarakat itu sendiri. Seperti aktivitas tambang yang masif, baik legal maupun ilegal. Semuanya mengubah wajah alam, gunung digali, sungai tercemar, hutan gundul, dan masyarakat lokal tercerabut dari akar budaya dan penghidupan mereka.
“Ecology and spiritually are fundamentally connnected, because deep ecological awareness ultimately is spiritual awareness.” – Fritjof Capra
Ekologi dan spiritualitas pada hakikatnya saling berkaitan, karena kesadaran ekologis yang mendalam pada hakikatnya adalah kesadaran spiritual. Demikian yang dikatakan oleh Fritjof Capra dalam bukunya The Turning Point. Nilai ekologi yang mendalam, merupakan sebuah filsafat yang menekankan nilai instrinsik semua makhluk hidup dan ekosistem, sering kali menggabungkan dimensi spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan spiritual yang lebih dalam dengan alam dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dan pengelolaan yang lebih besar terhadap lingkungan. Semakin cerdas seseorang memperhatikan dan menggunakan akalnya untuk berfikir, mengamati segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Maka, semakin beriman dengan kuasa Allah. “… Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.”
Kalau bukan kita, lantas siapa lagi yang menjaga bumi ini? Kapan lagi? Alam tak membutuhkan manusia, tapi manusia yang tidak bisa hidup tanpa alam. Sudah saatnya kesadaran itu tumbuh, dari lingkup kecil kepada lingkup yang lebih luas. Dari kesadaran itulah, program Adiwiyata di Madrasah menjadi pilihan solusi yang tepat. Tidak hanya menjadi simbol, tapi menjadi aksi yang nyata. Lingkungan madrasah di bawah naungan Kementrian Agama dapat menjadi pionir gerakan ramah lingkungan melalui langkah-langkah edukatif, partisipatif, dan berkelanjutan. Misalnya menerapkan kurikulum ekopedagogi, hingga menyinergikan kegiatan kebersihan dengan nilai-nilai religius seperti hablum minal ‘alam (hubungan baik dengan alam).
Dilansir dari laman Forest Digest, pendidikan juga memerlukan pengetahuan kritis tentang budaya ramah lingkungan. Ekopedagogi juga merupakan istilah pembangunan berkelanjutan di semua lini hubungan sosial politik. Ekopedagogi adalah pendidikan yang menempatkan kesadaran ekologis sebagai inti dari proses belajar. Bukan sekadar mengajarkan bagaimana menjaga lingkungan, tapi membentuk manusia yang sadar akan keterkaitannya dengan alam dan bertanggungjawab secara etis terhadap kelanjutan bumi. Adapun prinsip-prinsip yang diterapkan dalam ekopedagogi, adalah partisipatif, yaitu melibatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam menjaga lingkungan. Hal ini tentu sejalan dengan program Adiwiyata yang transformasional, yaitu menghasilkan tindakan nyata, dan bukan hanya pengetahuan.
Ekopedagogi menjadi dasar yang kuat dalam pengembangan program Adiwiyata di sekolah dan madrasah. Jadi, bukan hanya sekadar lomba kebersihan atau keindahan lingkungan kelas semata, melainkan dapat menyisipkan nilai-nilai ekologi dalam kurikulum pembelajaran. Kemudian mendorong budaya sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan, melibatkan semua pihak, antara lain siswa, guru, orang tua hingga masyarakat sekitar. Serta, dengan adanya insersi program Adiwiyata dalam kurikulum madrasah, pihak yang terlibat dapat mengelola limbah, air, energi dan ruang terbuka hijau secara berkelanjutan.
Program Adiwiyata bukan hanya simbol prestasi lingkungan, tetapi memegang peran penting dalam menimbulkan ecological citizenship yaitu tanggung jawab sebagai warga bumi yang sadar akan hak kewajiban terhadap kelestarian lingkungan. Kita tidak sedang menyelamatkan bumi; kita sedang menyelamatkan diri kita sendiri. Sebab, bumi akan terus ada tanpa manusia, namun manusia takkan pernah ada tanpa bumi. Ekopedagogi menegaskan bahwa cinta pada alam bukan sekadar slogan, tapi harus ditanamkan melalui pendidikan yang bermakna. Ketika madrasah dan masyarakat menjadikan ekopedagogi sebagai bagian dari gaya hidup, maka solusi ekologis bukan lagi angan-angan, tetapi menjadi gerakan perubahan nyata yang berpijak dari akar.
Komentar
Posting Komentar